Anak Singa di dalam Tempurung

Oleh Avee K-tsuki
 
Aku membuka pintu kamar nomor tujuh. Lagi-lagi, “Heiii, apa pekerjaan kalian itu hanya shalat, shalat, dan shalat?! Aku heran dengan jalan pikiran kalian!!”  Mereka hanya menoleh datar. Aku menghela nafas dan bergegas membuka kamar nomor satu yang tepat berada di depan kamar nomor tujuh. Dan lagi-lagi, “Ya Allaah, setiap hari seperti ini yang kalian lakukan!! Shalat, berdzikir di kamar, membaca Alquran, lalu apalagi haah?!!” Aku membuka pintu-pintu kamar lain, dan tetap saja terlihat pemandangan yang sama. Heran. Marah bercampur sedih. Miris melihatnya. “Setiap hari hanya di kamar, kalau tidak di masjid, pergi juga hanya untuk kuliah. Mau jadi apa kalian haah?! Begini pemuda yang katanya ‘Agent of change’, ‘Generasi penerus’, atau apalah yang sering orang-orang sematkan?! Sudah merasa cukup rupanya kalian menjadi ahli ibadah!!”, amarahku mencapai puncak. Sudah cukup aku diam, sudah cukup aku mencoba menjelaskan baik-baik. Mereka tetap sama. Tak ada perubahan. Dan hari ini, ketika akhirnya amarahku mencapai titik tertinggi, mereka tetap bergeming. Nihil.
Pernah suatu hari aku mencoba melakukan ‘pendekatan’ ke Setyo, penghuni kamar nomor satu. “Tio, aku salut denganmu. Rakaat dhuhamu tak pernah kurang dari enam belas, pun bacaan Alquranmu yang tak pernah lebih sedikit dari satu juz. Tapi, apa kau tak ingin keluar dari ‘sarangmu’? Berbaur dengan hingar bingar orang banyak.” Dia hanya tersenyum, “Di luar sana terlalu banyak gangguan, terlalu banyak hal yang melalaikan, dan menggoda iman. Aku ingin khusyu beribadah.” “Tapi...”, sebelum selesai kalimatku dia segera memotong, “Sudahlah Tiar, aku harus menyelesaikan target satu juzku. Aku tak ingin diganggu. Afwan.” Pintu segera ditutup, aku beringsut pergi. Tak berhasil, lagi.
“Mengerikan sekali melihat pergaulan sekarang ya Yar”, ucap Feri yang datang ke kamarku dan bercerita suatu sore. “Kemarin saat pulang kuliah, aku mampir sebentar ke Gang Kenanga. Kau tentu tahu, di sana sarangnya kemaksiatan. Aku terpaksa ikut karena diajak Erwin. Cari objek dakwah katanya. Tapi apa yang terjadi? Aku digoda wanita-wanita di sana yang sedang menemani lelaki hidung belang. Dan yang lebih mengagetkan lelaki itu adalah teman kelasku Yar! Padahal dulu saat SMA, dia adalah aktivis. Rajin ibadah. Aku segera bergegas meraih tangan Erwin dan kembali ke ujung jalan. Ternyata dunia di luar sana begitu menakutkan Yar”, ungkap Feri, penghuni kamar nomor tujuh. “Justru itu tugas kita Fer, mengembalikan mereka ke pelukan Islam. Ladang dakwah kita itu”, aku menimpali. “Ah, tapi aku takut Yar, aku takut terbawa, terwarnai, melebur bersama dengan mereka yang bermaksiat. Lebih baik aku fokus perbanyak ibadah, bekal nanti hidup di akhirat.” Aku menghela nafas. Pemahaman yang kurang benar, lagi.
***
“Islam itu dinamis, maka untuk menjaganya kita harus menjadi Muslim yang aktif. Menyeru ke jalan Allah, melaksanakan amar makruf nahi munkar, berjihad, dan berdakwah. Itu lah Islam didikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.” Ucapan Ustadz Karim menggelorakan semangat dakwahku. Sungguh. Sudah kuputuskan, hidupku hanya untuk Allah, untuk Islam. Aku akan terus berada dalam barisan ini. Barisan para ‘karyawan’ Allah yang mendedikasikan seluruh apa yang ada pada dirinya untuk Allah, yang selalu berpikir apakah dirinya telah memberikan manfaat untuk orang lain atau malah membawa kemudharatan, dan yang senantiasa mentaubati segala dosa-dosa yang pernah dilakukan. Ya, inilah jalanku. Inilah pilihan hidupku.
“Jika kalian hanya berdiam diri, meratapi nasib umat Islam saat ini dan merasa berduka cita, lalu siapakah yang akan memerangi musuh-musuh Islam? Jika kalian mengasingkan diri dari hingar bingar dunia, lalu siapa yang akan melawan konspirasi Zionisme dan Freemason serta propaganda Komunisme dan Atheisme? Jangan tinggalkan jihad dan dakwah. Mereka, musuh-musuh Islam, begitu apik menyusun strategi untuk menguasai umat Islam dan memberikan kekuasaan bagi kaum Yahudi, memerangi syariat Islam, menjauhkan kita dari Alquran.” Semangatku full charge mendengarnya. Memang, keburukan yang terstruktur akan mengalahkan kebaikan yang tak terencana, tak terorganisasi dengan baik. Itulah mengapa berjama’ah dalam dakwah begitu penting.
 Halaqah sore itu ditutup dengan rangkaian kalimat yang patut menjadi bahan renungan. “Jika kita hanya melihat bagaimana umat Muslim menderita dari kejauhan, tak berbuat sesuatu, menangis, dan meratap, apa umat Islam akan bebas? Berjaya? Menang? Tidak Saudaraku!! Tidak!! Ingatlah, Islam sampai dan bertahan di zaman kita sekarang karena dakwah. Janji Allah adalah kepastian, bahwa Islam akan memimpin dunia. Kemenangan itu dipergilirkan saudaraku. Dan sejarah pasti berulang. Hanya pelakunya sajalah yang kemudian berganti. Islam pasti akan kembali berjaya. Islam pasti akan kembali memimpin peradaban seperti dahulu. Maka pertanyaannya adalah ‘siapakah yang menggantikan pelaku sejarah yang pernah terukir?’. Tidakkah kita ingin menjadi pelakunya? Pemainnya? Tentu berbeda di mata Allah orang-orang yang hanya menjadi penonton dengan mereka yang memilih menjadi pemain bukan?!”.
Setelah sempat kecewa dan hampir putus asa dengan teman-teman yang terus ber’uzlah’ dan enggan ikut menyeru Islam, kini aku kembali dengan semangat menggelora. Dan muncul lah sebuah ide di benakku. Ini dia. Aku tak akan menyerah. Mungkin caraku yang ‘agak kasar’ membuat mereka tak mau membuka hati. Aku pun pulang dengan hati yang tenang dan lapang. Bismillah. Semoga Allah memudahkanku yang ingin menjadi penolong agama-Nya ini.
***
Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.
Teruntuk Saudaraku yang kucintai karena Allah..
Sengaja ku tulis surat ini sebagai wujud cintaku pada saudaraku seiman. Tak ada niat apapun selain ingin mengajakmu berhijrah bersamaku menuju kebaikan.
Saudaraku, afwan jiddan dengan segala sikapku selama ini. Mungkin aku telah mengusik khusyunya ibadahmu. Tapi sungguh, aku tak bermaksud seperti itu. Aku hanya ingin mengajakmu menjadi penyeru agama Allah yang mulia dan sempurna ini, Islam. Aku hanya ingin mengembalikan semangat jihadmu.
Oh iya, aku akan sedikit berkisah untukmu. Kau tahu Muhammad Al Fatih? Ya, pasti kau tahu. Ia adalah penakluk Konstantinopel. Yang karenanya Imperium Romawi runtuh setelah empat belas abad berkuasa. Al Fatih adalah seorang ahli ibadah. Shalat sunnah tahajud tak pernah ia tinggalkan semalam pun sejak ia baligh. Shalat sunnah rawatib juga tak pernah alpa hingga akhir kematiannya. Tapi tak hanya itu. Al Fatih juga mempunyai semangat jihad yang tinggi, pantang menyerah, dan tak takut mati. Ia ingin menjadi pemimpin terbaik seperti yang dijanjikan Rasulullah,

“Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” [HR Ahmad]
Saudaraku, aku mungkin bukanlah seorang Muslim yang ketakwaannya seperti Al Fatih. Tapi aku sedang belajar dan berusaha menjadi penolong agama Allah, karyawan Allah. Aku ingin berproses menjadi insan yang bertakwa. Aku ingin mendedikasikan segala potensi yang ku miliki untuk memperjuangkan Islam. Aku ingin menjadi seorang yang selalu menebar kebermanfaatan untuk orang lain. Dan aku tak ingin berjalan sendiri, Saudaraku. Temanilah langkah perjuanganku. Saling mengingatkan, saling menguatkan.
Saudaraku, tidakkah kau terusik dengan berita-berita yang menunjukkan betapa umat Islam saat ini begitu terhina? Saudara-saudara kita di Afghanistan, Irak, Palestina, Suriah, Myanmar, Mesir, dan negeri-negeri Muslim lain sedang menderita. Dan kita hanya terdiam. Meratapi. Dimana anak-anak singa Islam sekarang ini? Lari menjadi pengecut karena takut?? Memilukan sekali. Islam butuh kita, Sudaraku. Jangan melarikan diri.
Ku ingatkan kembali kata-kata Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhallaa, “Tidak ada kejahatan yang lebih besar setelah kekafiran, daripada melarang jihad di jalan Allah dan menyuruh agar kehormatan kaum muslimin diserahkan begitu saja kepada musuh-musuh Allah”. Kita tak ingin menjadi penjahat bukan?
Saudaraku, bagaimana umat Islam akan tegak dan kembali kepada kejayaannya jika kita tak punya tekad kuat seperti Abu Bakar yang bersumpah akan memerangi siapa saja yang tak menjalankan syariat Islam? Atau seperti Anas bin Nadhr yang syahid saat perang Uhud dengan delapan puluh lebih luka tikaman di tubuhnya?
Saudaraku, mari kita berjuang tegakkan Islam. Jadilah anak singa Islam yang tak pengecut. Raungkan semangat dakwah dan jihadmu. Tebarkan amar makruf dan nahi munkar. Raihlah gelar “Singa di siang hari, namun rahib di malam hari” milik Umar bin Khattab. Dan ingatlah, jihad adalah puncak ibadah tertinggi, Saudaraku.
Terakhir, tapi bukan yang paling akhir. Ku kutip ayat cinta dari Allah. “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar.” [QS Ali Imran : 142]
Sekian.
Wassalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.
Dari Saudara seimanmu
Tiar Ari Pramuditya
Akhirnya selesai juga. Surat untuk saudara-saudaraku. Ku lipat serapi mungkin. Masukkan ke dalam amplop biru, warna kesukaanku. Hehe. Dan besok pagi akan kuberikan kepada mereka. Bismillah.
***
Dua hari berlalu, aku lupa ‘mengecek’ kamar saudara-saudaraku. Semoga ada perubahan. Bismillah, mulai dari kamar nomor satu. Setyo. Kulihat pintu kamarnya tertutup rapat. Ku ketuk. Tak ada respon. Ah, rupanya terkunci. Oke, kulanjutkan mengetuk pintu kamar dua, tiga, empat, dan akhirnya sembilan. Semua terkunci. Ada apa ini? Tak seperti biasanya. Baiklah. Sekarang kamar terakhir. Feri. Aku tak putus asa. Ku ketuk, lagi. Tak ada reaksi. Kemana mereka? Sudahlah. Mungkin sedang ada kepentingan, batinku. Aku beranjak meninggalkan kamar nomor tujuh. Belum genap dua langkah kaki ini bergerak, aku mendengar suara aneh di dalam kamar Feri. Sepertinya ada yang tertawa. Aku menoleh ingin kembali mengetuk kamarnya dan...... gelap. “Tertangkap kau. Ayo masuk.” Kedua mata ditutup kain, tangan terikat, dan aku didorong masuk seperti tersangka yang dituntut hukuman mati. “Cepat masuk..”
Ikatan di kedua mataku terbuka. Samar-samar kulihat wajah Ustadz Karim. Apa? Ustadz Karim? Sedang apa beliau di sini? “Hahaha. Bingung ya Yar? Kita baru selesai halaqah dengan ustadz Karim lho.” Sergah Feri. Dari mana mereka kenal Ustadz Karim? Setyo menepuk bahuku, “Wah, masih berlagak bingung nih. Tiar, Tiar...”
“Begini Tiar. Kemarin Setyo tiba-tiba menemui saya selepas halaqah. Dia mengikutimu  dari kos sampai masjid katanya. Dia pun menjelaskan apa yang terjadi dan meminta saya mengisi halaqah untuknya dan teman-teman yang lain”, Ustadz Karim mencoba menjelaskan kepadaku yang masih terduduk bingung. “Oh..”, aku menyahut pendek. Jitakkan pun mendarat di kepalaku. “Aduh...” “Tak berperikemanusiaan sekali dikau, Yar. Kita itu ingin memberi kejutan untukmu. Malah ekspresinya datar begitu.” Setyo bersungut-sungut. “Hehehe. Maaf. Maaf. Aku kaget. Tak menyangka, sungguh. Subhanallah sekali kalian. Luar biasa”, ku rangkul Setyo diikuti Feri, dan teman-teman....eh saudara-saudaraku yang lain maksudnya. Hehe.
“Kita akan menemani perjuanganmu Yar. Dan menjadi anak singa Islam yang meraungkan semangat dakwah dan jihad. Membuat musuh-musuh Islam lari terbirit-birit. Hehe”
TAMAT

0 comments: